A. Pengertian partai
Partai berasal dari bahasa Latin partire yang berarti memisahkan. Bahkan ‘partire’ masuk dalam kosa kata ilmu politik hingga abad 17, oleh sebab konotasinya disamakan sekte yang juga berasal dari bahasa Latin secare yang berarti pelayan, memotong dan. Sementara dalam bahasa Inggris, Jerman, Itali, Spanyol dan Perancis dapat bahwa jejak kata tersebut berakar dari ‘part’ (parteger - Perancis dan partaking ). Olehnya itu sejak awal partai itu memiliki dua makna yakni memisahkan dan untuk mengambil bagian atau ‘sharing’. Namun dalam perkembangan selanjutnya kedua inilah yang lebih banyak digunakan2.
Dari diskursus awal seperti itu, partai atau tepatnya partai politik kemudian banyak variasi terminologis. Namun ujung-ujungnya tetap mengacu kepada yang terakhir tersebut. Partai politik menurut Frederich adalah sekelompok manusia terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil. Atau mengikuti Saltou, partai politik diartikan sebagai sekelompok warga negara yang sedikit banyak yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan untuk memilih- bertujuan menguasai pemerintahandan melaksanakan umum mereka. demikian halnya mengapa partai politik di masa lalu tidak berkembang dibanding masa sekarang? Menurut Blondel3 paling kurang ada tiga faktor yang menjadi penyebabnya, adanya persepsi tentang konflik yang serba hadir dalam masyarakat modern. Kedua, untuk memerintah dikaitkan dengan pertambahan jumlah penduduk. Ketiga, adanya politik bahwa persatuan berati kekuatan.
B. Fungsi partai politik
1. Sarana Sosialisasi Politik
proses pentransferanan nilai-nilai dalam rangka pembentukan watak dan sikap elite partai kepada massa pendukungnya. Sebagai sebuah proses ia tidak pernah berhenti satu titik, melainkan terus berlangsung seumur hidup. Itu sebabnya ia dibedakan kesadaran sendiri yang bisa berlangsung secara formal, non formal dan informal tanpa disadari yakni melakukan percakapan atau pergaulan sehari-hari.
2. Rekruitmen Politik
Dasar rekruitmen ini adalah ‘political survive’ artinya kesinambungan hidup politik adalah yang utama. Seleksi anggota atau merekruit anggota muda untuk berperan selain untuk kepentingan jangka pendek tetapi juga dalam rangka memberi nafas terhadap hidup partai di masa depan. Dengan cara demikian, vitalitas partai saat ini tetap terjaga.
3. Komunikasi Politik
Komunikasi politik adalah proses penyampaian pesan dari pemerintah kepada masyarakat ataupun dari kepada pemerintah. Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah melalui partai politik. Tentu jika fungsi ini dapat dijalankan, berarti pula sudah pemerintah dalam hal pendistribusian informasi.
4. Artikulasi dan Agregasi Kepentingan
Partai politik fungsi ini sebetulnya sangat operasionalistik. Artinya political sangat penting sebab sejauhmana partai politik mau menghimpun suara-suara atau perlakuan yang tidak adil oleh penguasa kepada rakyatnya betul-betul. Kemampuan partai politik menerjemahkan kepentingan masyarakat kendatipun bermanfaat untuk rakyat tetapi justru merupakan poin tersendiri bagi partai politik yang. Terlebih jika kepentingan tersebut tidak sebatas dihimpun melainkan juga untuk diperjuangkan, pasti nilai pluspun diperoleh.
5. Pengendalian Konflik Politik
Partai politik adalah tempat persaingan politik. Tujuan utamanyapun adalah perebutan. Sebab itu, pertikaian dan konflik adalah dua hal yang melekat pada partai politik. pendapat, perbedaan persepsi jika tidak bisa diatasi tidak mustahil melahirkan politik bahkan fisik.
C. Dilema Partai dan Sistem Kepartaian
Secara historis, partai-partai politik di sebenarnya lahir, tumbuh, dan bersamaan dengan pertumbuhan keindonesiaan pada awal abad ke-20. Meskipun menjadi wadah aspirasi dari dan atau golongan ideologis yang, partai-partai pada era kolonial memberikan kontribusi bagi pencarian “penemuan” identitas keindonesiaan yang mendasari pembentukan republik. besar pendiri bangsa, seperti HOS inoto, Tjipto M angunkusumo, dan Hatta adalah juga pendiri pemimpin partai pada zamannya. Lihat misalnya hasil-hasil penelitian Pusat Penelitian LIPI, di antaranya, Lili Romli (Ed.), Potret Partai Pasca-Orde Baru, Jakarta: P2P-LIPI, 2003; Haris (Ed.), Pemilu Langsung di Tengah Partai, Jakarta: Gramedia, 2005; serta juga hasil survei dan polling seperti yang dilakukan LP3ES, LSI, dan Litbang Kompas. demikian, ketika Indonesia merdeka dari kekuasaan kolonial 1945, hal ini segera pula disadari bahwa perbedaan-perbedaan mendasar di para founding fathers tentang arah kepartaian. Hal itu tampak jelas tatkala Soekarno tentang suatu partai negara bersifat tunggal di bawah sistem presidensial ternyata hanya jagung karena dengan keluarnya Pemerintah tanggal 3 November yang ditandatangani Wakil Presiden Hatta dan b erisi anjuran partai-partai—harus digantikan suatu sistem multipartai di bawah sistem parlementer. itu, fungsi pendidikan bagi masyarakat hampir tidak pernah dan menjadi agenda partai-partai .
Sebaliknya, partai-partai politik kita bersembunyi di balik baju yang ideologis, di belakang kharisma para elitenya, serta di balik isu-isu yang tak pernah diterjemahkan secara. Sebagai akibatnya, partai-partai cenderung lebih fisik (melalui kemampuan massa, mobilisasi simbol-simbol, sejenisnya) ketimbang kompetisi atas keunggulan visi, platform, dan program, hampir tidak ada upaya para pemimpin partai pada era dewasa ini untuk membenahi diri. politisi partai justru makin melestarikan atik struktural partai-partai dan situasi tidak sehat tersebut demi kekuasaan pribadi.
Kecenderungan serupa tampak dalam konteks sistem kepartaian tidak jelas arah dan formatnya sekadar banyak dari segi jumlah koheren dengan pilihan terhadap pemerintahan, sistem perwakilan, dan pemilu. Hampir tidak pernah ada serius di kalangan elite partai-partai di DPR, ke mana sesungguhnya arah kepartaian kita pasca-Orde Baru yang muncul kemudian adalah UU . 2 Tahun 1999 dan UU No. 31 Tahun 2002 Partai Politik yang tidak visioner dan Arbi Sanit, “Perubahan Mendasar”, hal. 20— 23. membiarkan partai-partai dirinya sendiri. Pelembagaan dan Demokratisasi Partai organisasi modem, partai-partai sudah tentu dituntut untuk etika berpartai secara pula. Hal ini termasuk di dalamnya kepemimpinan yang demokratis dan , etika berorganisasi atas dasar kekuasaan yang terdiferensiasi, dan pertanggungjawaban secara publik, semuanya dilem bagakan melalui internal partai yang disepakati melalui pelembagaan etika semacam itu, partai-partai tidak diharapkan menjadi wadah pendidikan dan pembentukan kepemimpinan, juga bisa menjadi basis sekaligus bagi pelembagaan demokrasi ke arah lebih substansial.
Kasus yang lain terjadi sebelum pilkada ataupun pemilu yaitu kepercayaan publik yang mulai turun. pengalaman empirik, kasus krisis kepercayaan publik terhadap Kepala Daerah ataupun DPR sering terjadi. Banyaknya janji janji palsu calon legislatif ataupun calon Pemimpin Daerah pada saat kampanye membuat geram masyarakat karena janji janji tersebut tidak direalisasikan. Banyak yang menyogok kepada masyarakat agar memilihnya. Menyikapi hal itu bagi masyarakat yang melek akan politik, tentu tidak menerimanya. Akan tetapi bagi masyarakat awam terlebih lagi masyarakat yang ada di pedesaan menerima sesuka hati bahkan meminta kepada calon tersebut agar diberi sejumlah uang.
Partai berasal dari bahasa Latin partire yang berarti memisahkan. Bahkan ‘partire’ masuk dalam kosa kata ilmu politik hingga abad 17, oleh sebab konotasinya disamakan sekte yang juga berasal dari bahasa Latin secare yang berarti pelayan, memotong dan. Sementara dalam bahasa Inggris, Jerman, Itali, Spanyol dan Perancis dapat bahwa jejak kata tersebut berakar dari ‘part’ (parteger - Perancis dan partaking ). Olehnya itu sejak awal partai itu memiliki dua makna yakni memisahkan dan untuk mengambil bagian atau ‘sharing’. Namun dalam perkembangan selanjutnya kedua inilah yang lebih banyak digunakan2.
Dari diskursus awal seperti itu, partai atau tepatnya partai politik kemudian banyak variasi terminologis. Namun ujung-ujungnya tetap mengacu kepada yang terakhir tersebut. Partai politik menurut Frederich adalah sekelompok manusia terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil. Atau mengikuti Saltou, partai politik diartikan sebagai sekelompok warga negara yang sedikit banyak yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan untuk memilih- bertujuan menguasai pemerintahandan melaksanakan umum mereka. demikian halnya mengapa partai politik di masa lalu tidak berkembang dibanding masa sekarang? Menurut Blondel3 paling kurang ada tiga faktor yang menjadi penyebabnya, adanya persepsi tentang konflik yang serba hadir dalam masyarakat modern. Kedua, untuk memerintah dikaitkan dengan pertambahan jumlah penduduk. Ketiga, adanya politik bahwa persatuan berati kekuatan.
B. Fungsi partai politik
1. Sarana Sosialisasi Politik
proses pentransferanan nilai-nilai dalam rangka pembentukan watak dan sikap elite partai kepada massa pendukungnya. Sebagai sebuah proses ia tidak pernah berhenti satu titik, melainkan terus berlangsung seumur hidup. Itu sebabnya ia dibedakan kesadaran sendiri yang bisa berlangsung secara formal, non formal dan informal tanpa disadari yakni melakukan percakapan atau pergaulan sehari-hari.
2. Rekruitmen Politik
Dasar rekruitmen ini adalah ‘political survive’ artinya kesinambungan hidup politik adalah yang utama. Seleksi anggota atau merekruit anggota muda untuk berperan selain untuk kepentingan jangka pendek tetapi juga dalam rangka memberi nafas terhadap hidup partai di masa depan. Dengan cara demikian, vitalitas partai saat ini tetap terjaga.
3. Komunikasi Politik
Komunikasi politik adalah proses penyampaian pesan dari pemerintah kepada masyarakat ataupun dari kepada pemerintah. Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah melalui partai politik. Tentu jika fungsi ini dapat dijalankan, berarti pula sudah pemerintah dalam hal pendistribusian informasi.
4. Artikulasi dan Agregasi Kepentingan
Partai politik fungsi ini sebetulnya sangat operasionalistik. Artinya political sangat penting sebab sejauhmana partai politik mau menghimpun suara-suara atau perlakuan yang tidak adil oleh penguasa kepada rakyatnya betul-betul. Kemampuan partai politik menerjemahkan kepentingan masyarakat kendatipun bermanfaat untuk rakyat tetapi justru merupakan poin tersendiri bagi partai politik yang. Terlebih jika kepentingan tersebut tidak sebatas dihimpun melainkan juga untuk diperjuangkan, pasti nilai pluspun diperoleh.
5. Pengendalian Konflik Politik
Partai politik adalah tempat persaingan politik. Tujuan utamanyapun adalah perebutan. Sebab itu, pertikaian dan konflik adalah dua hal yang melekat pada partai politik. pendapat, perbedaan persepsi jika tidak bisa diatasi tidak mustahil melahirkan politik bahkan fisik.
C. Dilema Partai dan Sistem Kepartaian
Secara historis, partai-partai politik di sebenarnya lahir, tumbuh, dan bersamaan dengan pertumbuhan keindonesiaan pada awal abad ke-20. Meskipun menjadi wadah aspirasi dari dan atau golongan ideologis yang, partai-partai pada era kolonial memberikan kontribusi bagi pencarian “penemuan” identitas keindonesiaan yang mendasari pembentukan republik. besar pendiri bangsa, seperti HOS inoto, Tjipto M angunkusumo, dan Hatta adalah juga pendiri pemimpin partai pada zamannya. Lihat misalnya hasil-hasil penelitian Pusat Penelitian LIPI, di antaranya, Lili Romli (Ed.), Potret Partai Pasca-Orde Baru, Jakarta: P2P-LIPI, 2003; Haris (Ed.), Pemilu Langsung di Tengah Partai, Jakarta: Gramedia, 2005; serta juga hasil survei dan polling seperti yang dilakukan LP3ES, LSI, dan Litbang Kompas. demikian, ketika Indonesia merdeka dari kekuasaan kolonial 1945, hal ini segera pula disadari bahwa perbedaan-perbedaan mendasar di para founding fathers tentang arah kepartaian. Hal itu tampak jelas tatkala Soekarno tentang suatu partai negara bersifat tunggal di bawah sistem presidensial ternyata hanya jagung karena dengan keluarnya Pemerintah tanggal 3 November yang ditandatangani Wakil Presiden Hatta dan b erisi anjuran partai-partai—harus digantikan suatu sistem multipartai di bawah sistem parlementer. itu, fungsi pendidikan bagi masyarakat hampir tidak pernah dan menjadi agenda partai-partai .
Sebaliknya, partai-partai politik kita bersembunyi di balik baju yang ideologis, di belakang kharisma para elitenya, serta di balik isu-isu yang tak pernah diterjemahkan secara. Sebagai akibatnya, partai-partai cenderung lebih fisik (melalui kemampuan massa, mobilisasi simbol-simbol, sejenisnya) ketimbang kompetisi atas keunggulan visi, platform, dan program, hampir tidak ada upaya para pemimpin partai pada era dewasa ini untuk membenahi diri. politisi partai justru makin melestarikan atik struktural partai-partai dan situasi tidak sehat tersebut demi kekuasaan pribadi.
Kecenderungan serupa tampak dalam konteks sistem kepartaian tidak jelas arah dan formatnya sekadar banyak dari segi jumlah koheren dengan pilihan terhadap pemerintahan, sistem perwakilan, dan pemilu. Hampir tidak pernah ada serius di kalangan elite partai-partai di DPR, ke mana sesungguhnya arah kepartaian kita pasca-Orde Baru yang muncul kemudian adalah UU . 2 Tahun 1999 dan UU No. 31 Tahun 2002 Partai Politik yang tidak visioner dan Arbi Sanit, “Perubahan Mendasar”, hal. 20— 23. membiarkan partai-partai dirinya sendiri. Pelembagaan dan Demokratisasi Partai organisasi modem, partai-partai sudah tentu dituntut untuk etika berpartai secara pula. Hal ini termasuk di dalamnya kepemimpinan yang demokratis dan , etika berorganisasi atas dasar kekuasaan yang terdiferensiasi, dan pertanggungjawaban secara publik, semuanya dilem bagakan melalui internal partai yang disepakati melalui pelembagaan etika semacam itu, partai-partai tidak diharapkan menjadi wadah pendidikan dan pembentukan kepemimpinan, juga bisa menjadi basis sekaligus bagi pelembagaan demokrasi ke arah lebih substansial.
Kasus yang lain terjadi sebelum pilkada ataupun pemilu yaitu kepercayaan publik yang mulai turun. pengalaman empirik, kasus krisis kepercayaan publik terhadap Kepala Daerah ataupun DPR sering terjadi. Banyaknya janji janji palsu calon legislatif ataupun calon Pemimpin Daerah pada saat kampanye membuat geram masyarakat karena janji janji tersebut tidak direalisasikan. Banyak yang menyogok kepada masyarakat agar memilihnya. Menyikapi hal itu bagi masyarakat yang melek akan politik, tentu tidak menerimanya. Akan tetapi bagi masyarakat awam terlebih lagi masyarakat yang ada di pedesaan menerima sesuka hati bahkan meminta kepada calon tersebut agar diberi sejumlah uang.
Komentar
Posting Komentar